Guru Honorer dan Jam Dinding yang Selalu Lebih Cepat

Oleh: Muchtarim

Lahat, Sumatera Selatan – Pukul 06.30 pagi, ketika sebagian rumah di Kelurahan Kota Baru masih menyisakan sisa-sisa kantuk, seorang perempuan muda sudah melangkah keluar dari rumahnya. Tas selempang sederhana menggantung di bahu kanannya. Langkahnya ringan, nyaris tanpa beban, meski hari-hari yang ia jalani sejatinya tidak pernah benar-benar mudah.

Namanya Nopiyanti, S.Pd. Usianya lebih kurang 28 tahun. Ia adalah guru honorer Bahasa Inggris di SD Negeri 03 Lahat, sebuah sekolah dasar negeri yang berdiri di jantung Kelurahan Kota Baru. Jarak rumahnya ke sekolah hanya sekitar lima menit. Namun, dalam lima menit itulah, setiap pagi, ia memantapkan niatnya sebagai seorang guru, sebuah pilihan hidup yang tidak selalu sejalan dengan kepastian ekonomi.

Jam dinding di ruang guru sering kali menunjukkan waktu yang sama setiap pagi ketika Nopiyanti tiba: lebih awal dari jam masuk. Ia tidak langsung menuju kelas. Ada satu kebiasaan kecil yang selalu ia jaga: bersalaman. Dengan guru-guru yang sudah datang lebih dulu, dengan siswa-siswa yang berlarian di halaman sekolah. Salam-salam kecil itu menjadi pembuka hari, seolah menegaskan bahwa sekolah bukan sekadar tempat belajar, tetapi ruang perjumpaan manusia.

“Kalau datang pagi, suasananya beda,” ujarnya pelan suatu hari. “Anak-anak masih ceria, guru-guru masih punya waktu ngobrol sebentar.”

Sudah kurang lebih tiga tahun Nopiyanti mengajar sebagai guru honorer. Ia mengampu mata pelajaran Bahasa Inggris dengan alokasi waktu dua jam pelajaran dalam seminggu.

Tidak banyak jika dihitung dengan angka, tetapi cukup untuk membangun kedekatan, memupuk keberanian, dan menanamkan rasa percaya diri pada murid-muridnya, terutama bagi anak-anak sekolah dasar yang baru mengenal bahasa asing.

Menjadi guru honorer sering kali identik dengan cerita getir: gaji kecil, status tak pasti, dan masa depan yang menggantung. Namun Nopiyanti tidak membingkai hidupnya dengan nada keluhan. Ketika ditanya apakah ia pernah berpikir untuk berhenti, jawabannya singkat dan tenang.

“Tidak,” katanya.

Baginya, mengajar adalah ruang belajar itu sendiri. “Saya ingin mencari pengalaman,” ujarnya lagi. Pengalaman berhadapan dengan karakter murid yang beragam, pengalaman mencoba metode mengajar yang berbeda, pengalaman jatuh bangun memahami dunia pendidikan dari ruang kelas, bukan dari buku teori.

Honor yang ia terima setiap bulan berjumlah Rp.200.000. Angka yang, bagi sebagian orang, bahkan tidak cukup untuk kebutuhan satu minggu. Namun bagi Nopiyanti, ia menyebutnya dengan satu kata yang jujur: lumayan. Ia tidak memiliki pekerjaan tambahan. Tidak pula merasa lelah secara mental karena soal ekonomi. Bukan karena hidupnya berlebih, melainkan karena ia memilih untuk menerima kenyataan dengan kesadaran penuh.

Di kelas, Nopiyanti bukan tipe guru yang berdiri kaku di depan papan tulis. Ia gemar mengajak murid-muridnya berani tampil, berani salah, dan berani mencoba. Bahasa Inggris, yang sering dianggap sulit, ia ubah menjadi tantangan kecil yang menyenangkan.

Salah satu muridnya, Vaela, masih mengingat jelas cara mengajar gurunya itu. “Seru dan mudah dipahami,” kata Vaela polos. Yang paling ia ingat adalah ketika Nopiyanti memberi tantangan kepada murid-murid untuk tampil di depan kelas. Bukan untuk menghafal, tetapi untuk mencoba.

“Kalau Ibu Nopi tidak mengajar lagi, aku sedih,” ujar Vaela singkat. Kalimat sederhana, namun cukup untuk menjelaskan makna kehadiran seorang guru honorer di mata muridnya.

Bagi Nopiyanti, murid-murid yang paling membekas di ingatannya bukanlah yang paling pintar, melainkan yang rajin dan suka menolong. Anak-anak yang mau membantu temannya, yang tidak menertawakan kesalahan, yang pelan-pelan belajar tentang empati. Ketika murid kesulitan memahami pelajaran, ia tidak memilih jalan pintas dengan memarahi atau mengabaikan.

“Saya berusaha mencari metode baru,” katanya. Metode yang membuat murid lebih bersemangat, lebih berani, dan merasa aman untuk belajar.

Di SD Negeri 03 Lahat, Nopiyanti bukan satu-satunya guru honorer. Kepala sekolah, Sukardi, S.Pd.,M.Pd., mencatat ada empat orang guru honorer yang membantu jalannya proses belajar mengajar. Peran mereka dinilai sangat penting, terutama dalam mengampu mata pelajaran tertentu seperti Bahasa Inggris pada fase B dan fase C, sesuai dengan kurikulum nasional.

“Kalau guru honorer berhenti, kegiatan belajar mengajar tidak akan maksimal,” ujar Sukardi. Beberapa guru kelas tidak dapat mengajarkan Bahasa Inggris secara optimal, sehingga keberadaan guru honorer menjadi penyangga yang tak terlihat, namun krusial.

Namun, ada keterbatasan yang tidak bisa dihindari. Guru honorer yang tidak memiliki NUPTK, sesuai petunjuk teknis, hanya bisa dibayar melalui BOSDA dengan nominal maksimal Rp.200.000 per-orang per bulan. Sebuah kebijakan yang membuat sekolah harus berhitung cermat, sementara kebutuhan hidup guru berjalan tanpa kompromi.

Meski demikian, kualitas guru honorer di sekolah ini tidak dipandang sebelah mata. Mereka rata-rata memiliki kualifikasi pendidikan S1, lulusan perguruan tinggi negeri maupun swasta ternama di Sumatera Selatan. Kompetensi ada, dedikasi ada, yang sering tertinggal hanya kepastian.

Di tengah keterbatasan itu, Nopiyanti tetap datang setiap pagi dengan semangat yang sama. Ia tahu betul bahwa status honorer bukanlah tujuan akhir. Harapannya sederhana dan jelas: menjadi ASN. Bukan semata demi status, tetapi demi keberlanjutan pengabdian.

“Kalau suatu hari tidak lagi mengajar di sini,” katanya pelan, “yang paling saya rindukan kebersamaan dengan guru dan siswa.”

Bagi Nopiyanti, menjadi guru hari ini bukan hanya soal menyampaikan materi pelajaran. Ia memaknainya lebih jauh: memberdayakan generasi berikutnya dengan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang diperlukan untuk berkembang di dunia yang terus berubah. Sebuah definisi yang lahir bukan dari seminar, melainkan dari pengalaman sehari-hari di ruang kelas.

Jam dinding di sekolah itu terus bergerak. Kadang terasa terlalu cepat, terutama bagi guru-guru honorer yang hidup di antara pengabdian dan ketidakpastian. Namun setiap pagi, Nopiyanti tetap datang lebih awal. Menyapa, bersalaman, dan masuk ke kelas dengan senyum yang sama.

Di balik angka honor yang kecil dan status yang belum pasti, ada keyakinan yang terus ia rawat: bahwa setiap anak yang berani berdiri di depan kelas, setiap murid yang mulai percaya diri mengucapkan kata dalam bahasa asing, adalah bagian dari masa depan yang sedang dibangun pelan-pelan, dari ruang kelas sederhana di SD Negeri 03 Lahat.

Dan selama masih ada anak-anak yang menunggu di balik pintu kelas, jam dinding boleh saja terus berlari. Nopiyanti akan tetap datang, lebih pagi dari waktu yang ditentukan, menjaga api kecil pendidikan agar tidak pernah benar-benar padam.

(Feature News)

Pos terkait