Lahat – Tidak ada panggung, tidak ada barisan foto yang dipajang di depan lobi, tidak ada tepuk tangan yang menggema seolah menyambut pahlawan pulang perang. Yang ada hanya langkah pelan dari seorang wartawan senior, Muchtarim, yang di sore Kamis 25 Desember 2025 datang ke sebuah ruangan sederhana yang merupakan bagian dari sekretariat PWI Lahat untuk mengambil formulir pendaftaran sebagai Calon Ketua PWI Lahat. Di ruangan itu, Suparman selaku perwakilan panitia pelaksana menyerahkan berkas pendaftaran. Serah terima dokumen berlangsung singkat, tetapi bukan berarti tanpa makna. Justru di situlah kisah dimulai: bukan dari sorot kamera atau mikrofon, melainkan dari niat yang tumbuh dalam diam.
Bagi sebagian orang, proses seperti ini hanyalah formalitas. Namun bagi Muchtarim, hari ini bukan sekadar tanggal yang dicatat panitia atau garis awal dari sebuah pemilihan organisasi. “Momennya langka dan ini proses baru menuju keseriusan saya mencalonkan diri sebagai Ketua PWI Lahat,” ucapnya. Kalimat itu terdengar tenang, tetapi menyimpan getar tekad yang jarang muncul dari seorang yang datang tanpa hingar-bingar.
Ia menyadari bahwa menuju kursi Ketua PWI Lahat bukanlah jalan mulus. Namun ia memilih untuk hadir dengan kejujuran, apa adanya, tanpa mencoba menjadi sosok lain yang bukan dirinya. Keputusan mengambil formulir tidak dilakukan untuk menunjukkan kehebatan, melainkan untuk menegaskan bahwa niat baik bisa berjalan tanpa gembar-gembor.
Saat diwawancarai, ia menegaskan bahwa langkah ini bukan untuk membangun citra atau prestise personal. “Saya ingin menjadi Ketua PWI bukan berarti saya hebat,” katanya. “Niat hati saya hanya ingin mempersatukan rekan-rekan PWI.”
Di tengah suara-suara yang kadang tak searah di internal organisasi, ia memilih berdiri di antara, bukan di atas. Ini bukan sekadar ambisi untuk menang, tetapi tentang keinginan untuk memastikan tidak ada yang merasa tersisih dalam rumah besar bernama PWI. Ia ingin menjadi jembatan, bukan tembok; pemersatu, bukan sekadar pemimpin struktural.
Dukungan pun mengalir dari banyak pihak, terutama dari tokoh-tokoh senior PWI Sumatera Selatan. Ada nama H. Ocktap Riady, mantan Ketua PWI Sumsel dua periode, ada K. Jon Heri, dan juga sosok penting di pusat sertifikasi kompetensi, Direktur UKW PWI Pusat, Aat Surya Safaat. Mereka bukan hanya memberi dukungan moral, tetapi juga menunjukkan bahwa langkah Muchtarim mendapat perhatian dari mereka yang paham medan.
“Dukungan pasti ada,” ujarnya. “Alhamdulillah ada beberapa tokoh senior PWI Sumsel yang mendukung.” Kalimat itu sederhana, tapi juga menegaskan bahwa ia tidak berjalan sendirian.
Bagi Muchtarim, mengambil formulir hanyalah awal. Harapan terbesar adalah proses pencalonan ini berjalan jujur, terbuka, dan memberi ruang bagi seluruh anggota untuk menilai tanpa tekanan. “Setelah pengambilan formulir ini, harapan saya segala bentuk pencalonan dipermudah dan tidak ada rintangan atau pencegahan,” katanya.
Harapan itu bukan keluhan terselubung. Itu adalah doa agar proses demokrasi di tubuh organisasi wartawan bisa berjalan sehat. Semua pihak tahu bahwa organisasi sebesar PWI memiliki sejarah panjang dinamika. Namun sejarah tidak harus mengulang pola yang sama. Ada waktunya semua kembali duduk bersama, membuka lembar baru, dan menghindari konflik yang sebenarnya tidak perlu.
Mengingat PWI Lahat bukan organisasi baru, wajar bila ia ditanya tentang kondisi hari ini. Jawabannya tidak defensif, tidak pula menyudutkan siapa pun. “PWI Lahat sudah baik,” ujarnya, “yang harus diperbaiki adalah mempersatukan rekan-rekan anggota PWI.” Ia melihat bahwa masalah utama bukan pada struktur atau program, tetapi pada keterhubungan hati.
Mungkin di sinilah letak tantangan. PWI bukan hanya ruang kerja; ia adalah ruang rasa. Ada tahun-tahun ketika organisasi ini tampak seperti keluarga, tetapi ada juga masa ketika jarak hadir di tengah-tengah. Kondisi itulah yang ingin ia kembalikan: bahwa menjadi anggota PWI bukan hanya soal kartu dan keanggotaan, tetapi tentang saling menjaga rumah bersama.
Dalam dunia organisasi, program kerja sering menjadi menu utama. Tetapi bagi Muchtarim, semua agenda hanya akan berarti jika rumah ini utuh dulu. “Program prioritas pertama, satukan dulu PWI Lahat. Ketika PWI bersatu, maka program-program akan berjalan.” Kalimat itu seperti mengetuk pintu kesadaran bahwa perpecahan bukanlah medan subur bagi kemajuan.
Dalam 100 hari pertama, jika ia terpilih, ia ingin membangun ruang temu: bukan hanya rapat, tetapi percakapan. Bukan hanya perencanaan, tetapi kebersamaan. Program tanpa penyatuan hanya akan menjadi daftar kata, bukan gerak. Sementara organisasi tanpa persatuan, hanya akan menjadi nama tanpa napas.
Di era ketika informasi berlari lebih cepat dari verifikasi, kompetensi bukan lagi pilihan, tetapi kebutuhan. Muchtarim memahami itu. Karena itu ia menegaskan pentingnya sertifikasi dan literasi etika. “UKW sangat penting. Lewat UKW kita memahami 5W-1H, kode etik jurnalistik, dan UU Pers,” ujarnya.
Ia tidak ingin PWI hanya menjadi wadah nama. Ia ingin PWI menjadi tempat wartawan merasa aman, merasa berkembang, dan merasa dihargai secara profesional. Itu sebabnya ia berkomitmen untuk menghadirkan UKW di Kabupaten Lahat. Sertifikasi tidak dimaknai sebagai pajangan, tetapi sebagai pagar yang menjaga marwah profesi.
Membangun relasi dengan pemerintah, swasta, maupun masyarakat bukan berarti tunduk pada kepentingan siapa pun. “Kolaborasi yang baik, komunikasi terjaga, dan didasari kepercayaan. InsyaAllah hubungan akan baik,” ujarnya.
Di sini terlihat bahwa ia tidak ingin PWI menjadi oposisi permanen, tetapi juga tidak ingin menjadi kaki tangan. PWI berdiri di tengah: menjaga jarak yang sehat, mendekat bila dibutuhkan, menjauh bila harus menjaga integritas.
Soal digitalisasi, ia tidak menolak arus. “PWI berperan aktif mentransformasi jurnalisme ke ranah digital dan tetap menjaga pers sebagai pilar demokrasi.” Ada kesadaran bahwa media online bukan musuh media cetak; mereka sama-sama bagian dari ekosistem informasi.
Tetapi ketika informasi berceceran ke mana-mana, pers harus menjadi penjaga kewarasan. Di sinilah PWI dipanggil untuk hadir, bukan sekadar mengimbangi perubahan, tetapi memberi arah.
Ketika ditanya tentang apa yang ingin diwariskan, jawabannya bukan prestasi, bukan nama besar, dan bukan jabatan. “Kejujuran, kepercayaan, keterbukaan, dan ilmu,” katanya. Jika kelak ia selesai dan tiga hal itu melekat di hati anggota, baginya itu cukup. Hasil terbaik dari kepemimpinan bukanlah pujian, tetapi keberlanjutan.
Masa depan tidak boleh hanya dititipkan kepada senior. Karena itu ia membuka ruang bagi wartawan muda, bukan sebagai penonton, tetapi sebagai pewaris. “Membangun emosional, memperkenalkan masa depan PWI ke wartawan muda,” ujarnya. Ia ingin mereka percaya bahwa PWI punya masa depan, sejauh niat dan ketulusan dikedepankan.
Kolaborasi pun ditawarkan tanpa sekat. “Ruang kolaborasi akan saya buka tanpa batas. Senior, junior, semua saling hormat.” Tidak ada lagi kasta. Yang ada hanya profesi yang sama-sama dijalani dengan hati.
Di akhir percakapan, ada satu kalimat yang menggambarkan hubungannya dengan organisasi ini bahwa, “PWI ibarat rumah kedua saya.”
Rumah adalah tempat kembali. Tempat berlindung. Tempat tumbuh. Dan ketika rumah itu retak, wajar bila seseorang ingin memperbaikinya sebelum terlambat. Ia percaya bahwa jika PWI menjadi rumah yang nyaman, seluruh anggotanya akan merasa memiliki masa depan.
Sebelum melangkah pergi, ia meninggalkan satu pesan singkat yang mungkin akan menjadi mantra dalam perjalanan panjang ke depan: “PWI Lahat bersatu.”
Di antara banyak tawaran visi dan program, di antara janji perubahan dan rencana besar, kalimat itu berdiri seperti jangkar. Tidak banyak kata, tetapi cukup untuk menahan kapal dari terombang-ambing.
Dan dari sinilah semuanya dimulai. Dengan langkah sederhana. Dengan niat yang tumbuh pelan. Menuju PWI Lahat yang kembali memeluk.
(Aan Kunchay)









