wartabianglala.com, Lahat (14 April 2025) – Siapa sangka, dari sebuah dusun di kaki Bukit Barisan, aroma kopi yang diolah secara tradisional mampu menembus meja-meja kantor para peneliti ekonomi di benua biru. Adalah Olivia Al-Fath Azhari, atau akrab disapa Ovie, seorang putri Tanjung Sakti yang kini memperkenalkan kopi olahan desanya ke Eropa.
Lahir di Bekasi pada 30 Desember 1995, dari pasangan Bapak Pajrullah Azhari dan Ibu Rita Harlianti, Ovie tumbuh besar dalam keluarga yang kini berdomisili di Desa Tanjung Bulan, Kecamatan Tanjung Sakti Pumi, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Meski tanah kelahirannya jauh dari Lahat, darah dan jiwanya tetap berakar pada tanah leluhur.
Ovie bukan pengusaha kopi, bukan pula petani. Ia adalah seorang peneliti ekonomi lulusan S2 dari Belanda, yang kini bekerja sebagai peneliti di sebuah lembaga internasional di negara yang sama. Namun, cinta dan kepeduliannya pada kampung halaman melahirkan satu gagasan besar dari sebuah kunjungan singkat.
“Tahun lalu, Ovie ada perjalanan dinas ke Lombok untuk riset soal adat dan budaya yang berkaitan dengan ekonomi. Saat berada di dusun, entah bagaimana, terlintas ide untuk memperkenalkan hasil olahan kopi dari kampung halaman—Tanjung Sakti,” ujar salah satu anggota keluarganya.
Gagasan itu bukan sekadar lewat. Sepulang dari dinasnya, Ovie langsung mengeksekusi proses pengolahan kopi. Dimulai dari tahap pemetikan dan pemilihan biji kopi terbaik, proses dilanjutkan dengan pengolahan tradisional hingga menjadi bubuk kopi siap kemas. Cita rasa yang diusung adalah keaslian—tanpa tambahan modernitas berlebihan, namun tetap terjaga kualitasnya.
“Yang dia tonjolkan bukan hanya kopi robustanya, tapi proses pengelolaan tradisional yang memberi rasa khas yang kuat, pekat, dan alami,” tambah keluarganya.
Sekembalinya ke Belanda, Ovie membawa beberapa contoh kemasan kopi tersebut. Ia mulai memperkenalkannya bukan ke pasar besar, melainkan ke lingkaran kecil: teman-teman kantornya yang berasal dari berbagai negara di Eropa. Dari sinilah cerita aroma kopi Tanjung Sakti mulai mengembara jauh.

“Tanggapan mereka luar biasa. Mereka bilang, kopi ini punya taste yang beda—lebih kaya rasa dan lebih enak dari kopi-kopi instan yang biasa mereka minum di Eropa. Mereka bahkan menyebut pengolahan tradisional sebagai kunci kenikmatan kopi ini,” cerita Ovie kepada keluarganya.
Meskipun masih dalam skala kecil dan sebatas bisnis keluarga, langkah Ovie ini membuka jendela baru: bahwa kopi dari Tanjung Sakti memiliki potensi besar jika dikembangkan dengan serius. Apalagi, dengan promosi yang bersentuhan langsung dengan komunitas internasional.
Lebih dari sekadar urusan bisnis, perjuangan Ovie adalah tentang memperkenalkan kampung halaman. Tentang membawa secangkir rasa dari tanah Sumatera Selatan ke tengah percakapan hangat para peneliti dunia. Tentang cinta diam-diam yang diseduh dari biji kopi, lalu dituangkan di cangkir-cangkir Eropa.
Sejak masa SMA di SMAN 4 Lahat, Ovie sudah pernah menjadi peserta pertukaran pelajar ke Jepang—sebuah kesempatan yang ia dapat saat Kabupaten Lahat dipimpin Bupati Aswari Rivai. Semasa kuliah di Universitas Bengkulu (UNIB), namanya kerap mewakili kampus dan bahkan Indonesia dalam berbagai forum akademik. Ia sempat mengenyam pendidikan di Thailand selama dua semester, lalu melanjutkan studi singkat di Amerika Serikat juga sebagai perwakilan UNIB.
Tak hanya itu, Ovie pernah menyandang gelar sebagai Puteri Pariwisata Provinsi Bengkulu dan juga Duta Bahasayang mewakili Provinsi Bengkulu dalam ajang nasional. Semua prestasi itu mengiringinya hingga ke jenjang S2 di Belanda, di mana kini ia bekerja sebagai peneliti ekonomi di sebuah lembaga internasional yang berisi akademisi dan peneliti dari berbagai negara di Eropa.
Kini, di balik setiap seruput kopi Tanjung Sakti yang dinikmati rekan-rekannya di Belanda, ada aroma tanah dusun, kerja keras petani, dan semangat seorang perempuan yang percaya bahwa dari desa pun, dunia bisa merasakan keajaiban rasa.






