Oleh: Indra Intisa
Pada awalnya, puisi-puisi nusantara diperkenalkan melalui puji-pujian terhadap sesuatu—yang memiliki kekuatan Maha—kepada penguasa jagat raya. Puja-puji terhadap Tuhan, alam, roh, pohon-pohon, dan sebagainya, termasuk juga mantra-mantra, jampi-jampi, dan seterusnya yang memiliki efek gema, efek sugesti—yang dikatakan memberi efek magis—berisi sesuatu—adalah bagian-bagian awal diperkenalkan dan diakui sebagai puisi—sebagai khazanah sastra lisan, budaya, perbuatan, dsb., yang kemudian diakui juga sebagai sastra tulis di zaman sekarang.
Selain itu, kedekatan masyarakat pada alam membawa mereka untuk melahirkan kata-kata tertentu yang berkaitan dengan alam, sifat-sifat, kelakukan manusia terhadap alam, maka tak sering kita jumpai puisi-puisi tua yang menggambarkan alam secara metaforis dan simbolik. Beberapa frasa yang menjadi kiasan-kiasan terhimpun dalam bentuk bidal, peribahasa, dan pepatah. Bentuk ini tentu juga terkait kepada budaya, adat, dan kebiasaan masyarakat setempat, dalam meletakkan bahasa sebagai bagian yang penting untuk menyampaikan sesuatu. Hal ini sampai kepada petatah-petitih—dalam perkawinan, hajatan, dsb. Perkembangan tersebut tentu sampai kepada puisi-puisi terikat—puisi yang tertata sedemikian rupa seperti pantun yang paling sering dipakai dan dilestarikan oleh masyarakt melalui mulut-ke mulut dalam sebuah acara besar di masyarakat sampai zaman sastra lisan seperti sekarang ini.
Pepatah dan bidal, salah satu puisi metaforis-simbolis yang paling pendek dan sederhana. Puisi yang paling sering dipakai dalam pembicaarn sehari-hari—untuk menyampaikan sesuatu yang berisi sindirian, nasihat, dan sebagainya. Tentu saja letaknya berbeda dengan puisi-puisi tua semacam pantun dan mantra. Sebenarnya, sampai saat ini pun, puisi jenis ini masih sering dipakai dalam perkcakapan sehari-hari—yang diletakkan sebagai sesuatu untuk—
Sedangkan pantun, adalah sajak yang terpisah—puisi yang disusun khusus—pengarangnya sering tidak dikenal—dihapal oleh para Petuah, datok, dsb.,–untuk menyampaikan sesuatu. Pantun dalam tradisi Melayu, dianggap sebagai salah satu puisi dan budaya terbesar yang masih dipakai hingga saat ini, dalam acara apa saja. Jika boleh menebak, tentu kita sepakat bahwa pantun adalah salah satu puisi nusantara yang paling besar gemanya, paling diakui, dan paling khas dibandingkan karya sastra lain di dunia ini—karya sastra yang masih disukai hingga zaman modern, zaman serba digital saat ini. Hanya memang, banyak orang suka memisahkan antara pantun dan puisi. Seolah pantun merupakan karya sastra yang lain selain puisi—dianggap berdiri sendiri.
Sedangkan jampi-jampi, mantra-mantra banyak dijumpai dalam azimat, atau pelafalan yang disampaikan oleh para dukun, pawang, tetua, yang dianggap mengerti dan menguasai perihal gaib. Mereka disematkan ujung pedang dan gerbang penahan terhadap sesuatu yang gaib, melalui mantra-mantra yang dilafalkan. Mantra tersebut dianggap memberikan efek gaib—memanggil kekuatan yang Maha—memanggil dan membuat segala sesuatu di luar nalar—dianggap memberikan kekuatan sihir. Biasanya mantra-mantra banyak memanfaatkan onomatope (tiruan-tiruan bunyi), rima-rima, bunyi-bunyian dan repetisi pada kata-kata tertentu, sehingga tanpa sadar memunculkan efek sugesti kepada pendengar dan pelafal.
Dulunya, mantra tidak disebutkan sebagai bagian dari puisi selain kumpulan kata-kata dan pelafalan yang angker, seram, atau hanya bisa diucapkan oleh orang tertentu saja, hanya diketahui dan bisa dipelajari oleh orang-orang yang dianggap punya lebih terhadap sesuatu yang ghaib. Di zaman modern, salah satu penyair modern, Sutarji, sengaja mencoba untuk meramu sesuatu—meramu puisi yang meniru sifat-sifat mantra—ia ingin mengembalikan bentuk puisi sebagaimana mantra. Orang-orang bilang itu adalah puisi kontemporer, sebuah penemuan yang hebat. Padahal, tidak lebih hanya mengembalikan sesuatu, mengulang sesuatu yang dianggap tertinggal. Tetapi dipoles sedikit menjadi lebih modern untuk tujuan sastra semata.
Kalau merujuk zamannya, puisi Indonesia itu terdiri dari 2 zaman, yaitu puisi lama dan baru. Tetapi, sering juga dipecah menjadi 3, yaitu puisi lama, puisi baru, dan puisi modern. Puisi lama dianggap sebagai manifestasi dari puisi-puisi konvensional yang disebut taat terhadap aturan yang ketat, seperti: jumlah suku kata, kata, larik, baris, persajakan (rima), bunyi-bunyian, pesan amanat, dan lain sebagainya. Biasanya puisi lama merupakan ciri khas budaya Indonesia, Nusantara, sebagaimana pantun, bidal, dan mantra. Tetapi, puisi semacam syair dan gurindam, dimasukkan pula ke dalam zaman ini. Padahal, syair dan gurindam adalah pengaruh dari puisi luar Nusantara, seperti dari Arab, Persia, dan India. Hanya saja, kembali ke inti sebelumnya, syair dan gurindam dianggap bagian dari puisi-puisi konvensional dengan aturan yang sangat mengikat. Makanya, orang sering mengelompokkan puisi berdasarkan zaman, juga merujuk kepada terikat dan bebasnya karya tersebut. Puisi modern sering dianggap sebagai puisi yang lepas dari aturan yang sangat mengikat. Sekalipun, hal ini disebutkan dalam tanda kutip—perlu bahasan juga terhadap ciri lain seperti kebiasaan dan perubahan para penyair, dan lain sebagainya.
________________
Biodata Penulis
Indra Intisa yang sering dikenal dengan Ompi sudah menulis sejak kecil. Selain menulis, juga suka bermain musik dan menulis lagu-lagu. Menulis buku-buku puisi, cerpen, novel, dan esai-esai. Beberapa karyanya pernah terbit di Koran: Media Indonesia, Utusan Borneo (Malaysia), Riau Pos, Tanjung Pinangpos, Lampung Post, Haluan, Pontianak Pos, Koran Padang, Floressastra dan beberapa media online seperti Kawaca.com, Islampos.com, Sastra-Indonesia.com, dst.