Gerakan Rakyat, Demokrasi, dan Tantangan Kebangsaan

Oktaria Saputra,S.E., M.Si.

Ketua Umum DPP PGNR

Gelombang aksi massa 28–31 Agustus 2025 di Jakarta dan sejumlah daerah telah menyita perhatian publik. Ribuan orang turun ke jalan, menyuarakan keresahan yang sejatinya memang nyata. Ekonomi yang kian berat, ketidakadilan yang dirasakan sebagian masyarakat, hingga ketidakpuasan terhadap arah kebijakan negara menjadi latar belakang lahirnya protes. Inilah bukti bahwa demokrasi masih hidup—rakyat masih mau bersuara.

Namun, sebagaimana ditegaskan Dewan Pimpinan Pusat Perhimpunan Gerakan Nusantara Raya (PGNR), gerakan rakyat yang murni dan sah itu tidak steril dari kepentingan. Ada indikasi kuat bahwa di balik keresahan yang tulus, ada tangan-tangan politik yang menunggangi, mengarahkan, bahkan memperalat aksi demi agenda kekuasaan. Akibatnya, gerakan rakyat yang seharusnya menjadi kanal aspirasi justru terjebak dalam pusaran instabilitas.

Demokrasi dalam Bayang-Bayang Kepentingan

Hak rakyat untuk berkumpul, menyatakan pendapat, dan berunjuk rasa dijamin oleh konstitusi. Itu adalah inti demokrasi. Tetapi, demokrasi selalu punya sisi rapuh: mudah disusupi kepentingan sempit. Sejarah Indonesia penuh dengan contoh ketika suara rakyat digunakan sebagai alat tawar-menawar politik, bahkan tumbal dalam perebutan kekuasaan.

Gerakan 28–31 Agustus memperlihatkan gejala yang sama. Aspirasi rakyat bercampur dengan intrik politik. Spanduk perjuangan bersisian dengan provokasi, yel-yel idealis berdampingan dengan aksi anarkis. Batas antara aspirasi dan manipulasi menjadi kabur. Inilah yang membuat demokrasi rentan kehilangan martabatnya.

Provokasi, Anarki, dan Politik Adu Domba

PGNR dengan keras mengecam tindakan provokator yang menjadikan aksi sebagai panggung kerusuhan. Pembakaran, perusakan fasilitas umum, hingga benturan dengan aparat adalah bukti bahwa ada skenario di balik layar. Tindakan itu bukan cerminan perjuangan rakyat, melainkan permainan aktor-aktor politik yang haus kekuasaan.

Lebih berbahaya lagi, ada upaya sistematis membenturkan rakyat dengan aparat. Politik adu domba seperti ini jelas merugikan bangsa. Rakyat kehilangan rasa aman, aparat kehilangan wibawa, negara kehilangan stabilitas, sementara kelompok tertentu menuai keuntungan politik.

Sejarah berulang : rakyat selalu menjadi korban. Darah dan air mata tumpah di jalanan, sementara elite berunding di meja kekuasaan.

Aparat: Penjaga atau Pelukai?

PGNR memberi apresiasi kepada TNI–Polri yang menjaga ketertiban. Tanpa kehadiran aparat, situasi bisa jauh lebih kacau. Namun, apresiasi ini disertai catatan keras: aparat harus humanis, profesional, dan proporsional.

Kekerasan terhadap rakyat, betapapun alasannya, tidak bisa dibenarkan. Aparat dituntut menjaga, bukan melukai. Seorang aparat yang menodongkan senjata atau memukul demonstran bukan sedang menegakkan hukum, melainkan meruntuhkan kepercayaan publik. Di era keterbukaan, satu tindakan brutal aparat bisa menjadi bara yang menyulut amarah nasional.

Pemerintah: Mendengar atau Menutup Telinga?

Gerakan rakyat tidak lahir dari ruang hampa. Ia adalah alarm keras yang menandakan ada masalah mendasar: harga kebutuhan yang mencekik, lapangan kerja yang sulit, keadilan sosial yang timpang.

PGNR menegaskan, pemerintah tidak boleh sekadar menyalahkan provokator atau menyebut aksi sebagai ulah politik. Itu jawaban yang terlalu mudah. Yang dibutuhkan rakyat adalah solusi nyata: kebijakan yang berpihak, langkah konkret yang terasa di meja makan rakyat kecil.

Pemerintah harus membuka ruang dialog, bukan menutup diri. Mendengar, bukan membungkam. Responsif, bukan defensif. Karena suara rakyat, sekeras apapun, adalah cermin yang menampilkan wajah negara.

Komitmen Kebangsaan di Tengah Krisis

Di tengah pusaran kepentingan, PGNR mengingatkan pentingnya komitmen kebangsaan. Segala bentuk gerakan yang bertujuan mengguncang stabilitas negara harus ditolak. Indonesia tidak boleh dipecah belah oleh agenda sempit kelompok tertentu.

Rakyat harus tetap kritis, tetapi jangan mau diperalat. Aparat harus tegas, tetapi jangan brutal. Pemerintah harus berdaulat, tetapi jangan tuli. Inilah keseimbangan yang akan menjaga persatuan nasional.

PGNR berdiri di tengah, mengawal kebangsaan, memastikan bahwa demokrasi tidak berubah menjadi anarki, dan perbedaan tidak menjadi permusuhan.

Pelajaran dari Gerakan 28–31 Agustus

Gerakan ini harus menjadi refleksi bersama:
* Bagi rakyat: suara Anda berharga, tapi jangan biarkan diperdagangkan. Demokrasi hanya akan kuat jika rakyat cerdas dan waspada terhadap manipulasi.
* Bagi aparat: tugas Anda menjaga rakyat, bukan melukai. Kekuatan bukan ditunjukkan dengan kekerasan, tetapi dengan ketegasan yang beradab.
* Bagi pemerintah: dengarkan suara rakyat sebelum terlambat. Jangan biarkan keresahan berubah menjadi kemarahan, atau kemarahan menjadi kerusuhan.
Demokrasi yang bermartabat hanya bisa lahir jika semua pihak belajar dari peristiwa ini. Rakyat tetap bersuara, aparat tetap menjaga, pemerintah tetap mendengar, dan bangsa tetap bersatu.

Penutup

Gerakan 28–31 Agustus adalah cermin wajah bangsa hari ini. Wajah yang sedang resah, wajah yang sedang diuji. Tetapi, di balik itu, ada harapan bahwa kita masih punya ruang untuk memperbaiki.

Seperti ditegaskan PGNR:
1. Rakyat punya hak bersuara, tetapi jangan mau diperalat.
2. Aparat wajib menjaga, bukan melukai.
3. Pemerintah harus mendengar, bukan menutup telinga.

Jika tiga prinsip ini dijalankan, maka demokrasi Indonesia tidak akan menjadi alat kekuasaan jangka pendek, melainkan jalan panjang menuju bangsa yang bermartabat, adil, dan bersatu.

Pos terkait