Cerpen Aan Kunchay: Purnama di Wajah Ibu

PURNAMA DI WAJAH IBU

Malam di desaku selalu penuh bisikan. Seperti ada suara-suara dari masa lalu yang enggan pergi. Mereka bergantung di udara seperti kabut tipis—tak terlihat, tapi terasa menusuk. Di langit, purnama menggantung sempurna. Bulat, utuh, dan diam. Seperti mata yang tak pernah berkedip, mengawasi setiap manusia yang bernapas di bawahnya.

Orang-orang percaya, purnama adalah wajah seseorang yang telah menemukan kebenaran. Tapi aku selalu bertanya-tanya, kebenaran seperti apa? Apakah kebenaran hanya milik mereka yang tak bernoda? Ataukah purnama itu sendiri telah lupa bagaimana caranya gelap?

Di balik jendela rumah, Ibu duduk di kursinya yang tua. Tangan tuanya tak pernah berhenti merajut. Setiap malam, aku menemukannya di sana—menenun sesuatu yang tak pernah kutahu ujungnya. Benang yang ia pakai selalu berwarna kelam. Hitam, pekat, seperti langit sebelum fajar.

“Ibu, kenapa kau terus merajut?” tanyaku suatu malam.

Ibu menoleh perlahan. Matanya menyimpan kerutan yang dalam, seperti akar pohon tua yang mencengkeram tanah dengan keras. “Aku sedang menyulam masa lalu.”

Aku mengernyit. “Untuk apa?”

Ibu tersenyum tipis. “Agar tak ada yang berani menghakimi masa depan.”

Aku terdiam. Kata-kata Ibu selalu seperti itu—membingungkan, penuh teka-teki. Seperti dedaunan yang gugur di musim kemarau, jatuh tanpa suara, tapi meninggalkan jejak panjang di tanah.

***

Di desa ini, masa lalu adalah benda yang suci sekaligus terkutuk. Orang-orang menyimpannya di leher mereka seperti jimat. Tapi, mereka juga menggunakannya sebagai senjata. Setiap orang diawasi oleh masa lalunya sendiri. Tak ada yang bisa lepas.

Aku ingat Mardan.  Dulu, dia sering datang ke masjid dengan langkah tergesa. Kepalanya selalu menunduk, seperti takut bertemu pandangan orang. Tapi orang-orang tak pernah menyambutnya dengan senyuman.

“Dia itu mantan maling,” bisik mereka. “Tak mungkin jadi orang baik.”

Padahal aku tahu cerita sebenarnya. Mardan mencuri karena anaknya menangis kelaparan, perut kosong selama tiga hari. Tapi siapa peduli pada alasan? Di desa ini, dosa pertama seseorang adalah cap yang tak pernah bisa dihapus.

Mardan berusaha berubah. Tapi di sini, perubahan dianggap lelucon. Orang-orang tak percaya manusia bisa memperbaiki dirinya. Mereka memelihara cerita lama, menenunnya menjadi kisah baru yang penuh aib.

Akhirnya, Mardan pergi. Aku melihatnya terakhir kali di tepi jalan, membawa sebuah karung lusuh dan menanggalkan mantel masa lalunya yang sobek di sana-sini. Tapi meski ia pergi, namanya tetap hidup dalam bisikan-bisikan warga. Mereka terus menyebutnya, dalam doa atau gunjingan, entahlah.

***

Malam itu, aku duduk di samping Ibu.

“Apa yang kau lihat di wajah purnama itu, Nak?” tanya Ibu, tanpa menoleh dari rajutannya.

Aku menatap langit. Purnama menggantung terang di atas desa yang tenang tapi penuh luka. “Orang-orang bilang itu wajah kebenaran.”

Ibu tertawa pelan. “Kebenaran bagi siapa?”

Ia menatapku lekat, matanya menembus batas masa lalu. “Kebenaran adalah benang yang selalu kusut jika dipegang dengan tangan yang kotor.”

Aku mengerti. Di desa ini, tangan-tangan orang sibuk memungut masa lalu orang lain, lalu menenunnya menjadi cerita yang tak berujung. Mereka lupa bahwa tangan mereka sendiri pun penuh noda.

“Apa kau ingat Diana?” tanyanya lagi.

Aku mengangguk.

Diana adalah perempuan yang pergi dari desa ini setelah pernikahannya gagal. Orang-orang bilang ia menodai nama keluarganya.

“Perempuan yang diceraikan di sini selalu dianggap pembawa aib,” lanjut Ibu. “Tak ada yang peduli pada alasan.”

Aku tahu cerita Diana. Pernikahannya hancur karena suaminya berselingkuh, tapi yang dihakimi adalah Diana. Karena di desa ini, perempuan yang gagal menikah dianggap tak layak lagi mendapatkan masa depan.

***

Suatu malam, aku bermimpi. Dalam mimpi itu, aku melihat Mardan dan Diana berjalan di jalan setapak yang penuh duri. Tapi mereka tidak meratap. Mereka membawa sesuatu di tangan mereka—purnama yang terang, bukan di langit, tapi dalam genggaman mereka sendiri.

“Kenapa kalian membawa purnama itu?” tanyaku.

Mardan tersenyum. “Karena purnama di langit tak pernah memberi kami kesempatan untuk berubah.”

Diana menambahkan, “Kami menempa purnama kami sendiri, agar masa lalu tak lagi menjadi beban. Masa lalu adalah guru, bukan hakim.”

Aku terbangun dengan keringat dingin membasahi dahiku.

***

Pagi itu, aku melihat Ibu menyelesaikan rajutannya. Tangannya gemetar saat memegang hasil karyanya, seolah apa yang ia buat begitu rapuh dan berharga.

“Apa yang kau rajut, Ibu?” tanyaku.

Ia menyerahkan rajutannya kepadaku. Di sana, kulihat wajahku sendiri—tapi kali ini tanpa bayang-bayang masa lalu yang menggantung di leherku.

“Pergilah,” kata Ibu. “Buatlah masa depanmu sendiri. Jangan biarkan orang lain merajut hidupmu dengan benang cerita mereka.”

Aku keluar rumah dengan langkah ringan. Udara pagi terasa lebih segar.

Tapi aku tahu, di belakangku, Ibu terus merajut. Entah doa apa yang ia tenun kali ini. Entah untuk siapa. Mungkin untuk Mardan. Mungkin untuk Diana. Atau mungkin… untuk seluruh manusia yang lupa bahwa masa lalu tak seharusnya menjadi vonis bagi masa depan.

Lahat, 2025

Tentang Penulis:

Aan Kunchay, seorang jurnalis di Kabupaten Lahat. Buku kumpulan cerpennya ‘Burung-Burung yang Lupa Cara Terbang” terbit tahun 2024.

Pos terkait