Warga Lahat Apresiasi Kembalinya Lagu Daerah di Traffic Light: “Budaya adalah Jati Diri, Bukan Janji Kampanye”

wartabianglala.com,Lahat — Setelah sempat diganti selama hampir sepekan dengan lagu-lagu bernuansa kampanye milik pasangan calon Bursah Zarnubi – Widia Ningsih, lagu-lagu daerah kembali mengalun di setiap lampu lalu lintas (traffic light) di Kota Lahat. Pergantian kembali ke lagu-lagu lokal ini disambut positif oleh masyarakat yang merindukan nuansa kultural di ruang-ruang publik. Rabu (09/07/2025).

Sebelumnya, publik dibuat terheran-heran dengan diputarnya lagu yang memuat jargon kampanye seperti “Menata Kota Membangun Desa” di titik-titik strategis Kota Lahat. Walau masa kampanye telah lama usai, alunan lagu yang mengandung pesan-pesan politis tersebut masih diperdengarkan, menyulut beragam reaksi dari warga.

“Sah-sah saja mau memutar lagu apapun. Tapi kalau isinya penuh jargon kampanye, rasanya kurang etis,” ungkap Dedi, warga Kelurahan Lahat Tengah, ketika ditemui di Simpang Empat Lampu Merah Pasar Lematang. “Sekarang ini bukan waktunya lagi menggaungkan janji, masyarakat butuh pembuktian. Lagu daerah itu cerminan budaya dan jati diri kita, bukan sekadar alat politik.”

Dedi menegaskan bahwa Kota Lahat adalah wilayah yang kaya budaya. Musik daerah bukan hanya hiburan semata, tetapi juga simbol identitas dan kebanggaan masyarakat. Ia berharap ruang publik seperti traffic light bisa dimanfaatkan untuk menguatkan nilai-nilai lokal, bukan menjadi panggung propaganda politik terselubung.

Sejalan dengan itu, Agus, warga Kelurahan Pagar Agung, juga menyatakan apresiasinya atas diputarnya kembali lagu-lagu tradisional Lahat. “Langkah ini patut didukung. Rasanya lebih adem mendengar lagu daerah saat berhenti di lampu merah. Kita seperti diingatkan kembali akan akar budaya kita,” ucap Agus.

Ia berharap Pemkab Lahat dapat lebih memberi ruang bagi para seniman lokal. Menurutnya, banyak karya-karya musik dari putra daerah yang layak untuk dipromosikan, baik di panggung-panggung resmi maupun ruang-ruang publik seperti yang kini dilakukan. “Saya berharap lagu-lagu ciptaan Yan Safran atau Oktaza Andiesfa (Anca) bisa lebih sering diputar. Mereka adalah seniman lokal yang telah banyak memberi warna pada musik daerah kita,” tambahnya.

Fenomena ini menjadi pengingat bahwa musik memiliki kekuatan besar dalam membentuk atmosfer sosial, dan dalam konteks lokal seperti Lahat, dapat menjadi alat untuk merawat identitas budaya.

Kembalinya lagu daerah ke ruang publik bukan hanya tentang mengganti alunan musik, tetapi juga soal keberpihakan terhadap nilai-nilai lokal. Masyarakat menginginkan suasana yang netral dan kultural, bukan politis. Musik daerah, yang selama ini nyaris tenggelam oleh gelombang musik modern dan politik, menemukan kembali tempatnya di hati masyarakat Lahat—tepat di tengah denyut kehidupan kota.

Dengan langkah ini, semoga kebijakan serupa dapat terus dilestarikan. Karena di balik setiap lagu daerah yang terdengar, terselip pesan-pesan kearifan lokal yang perlu terus digaungkan, jauh melampaui masa kampanye.

Pos terkait