Lahat – Di tanah yang kita pijak bersama ini, ada keresahan yang tak lagi bisa disembunyikan. Setiap deru kendaraan pengangkut batubara yang melintas di jalan umum, seolah menjadi penanda bahwa kita sedang berjalan mundur dalam memaknai hak atas kenyamanan dan keselamatan warga.
Sebagai seseorang yang pernah aktif dalam gerakan mahasiswa dan kini menjadi saksi lapangan sebagai jurnalis, saya memahami betul bahwa perdebatan soal angkutan batubara bukan hanya soal lalu lintas—tetapi tentang nilai, kewenangan, dan keberpihakan.
Pemerintah daerah kita sejatinya pernah membuktikan komitmen untuk menghentikan aktivitas kendaraan angkutan batubara di jalan umum. Saat itu, pada periode awal kepemimpinan Gubernur sebelumnya, keputusan yang berani telah diambil. Tapi sejarah mencatat, kebijakan itu tak berumur panjang. Ironisnya, sebagian penolakan justru datang dari masyarakat sendiri, yang khawatir roda ekonomi lokal akan terhenti karena jalanan sepi, usaha kecil menjerit, dan aktivitas masyarakat terganggu. Bahkan, aksi protes sempat menggema hingga ke kementerian.
Kini, kita kembali di persimpangan yang sama. Kendaraan-kendaraan besar melintas tanpa ampun, menciptakan debu, bising, dan ketakutan. Tapi apakah kita akan terus hanya menjadi penonton di tanah sendiri?
Saya tidak hendak menyalahkan siapa pun. Kita semua tahu bahwa pemerintah daerah memiliki keterbatasan. Kewenangan terkait izin usaha pertambangan (IUP), pengaturan lintasan, hingga kebijakan strategis lainnya masih banyak yang dikendalikan dari pusat. Pemda, dalam banyak kasus, hanya sebatas memberikan rekomendasi—sementara keputusan akhir kerap berada di luar jangkauan.
Lalu bagaimana harapan itu bisa ditumbuhkan kembali?
Kuncinya adalah keberanian mengembalikan kewenangan ke daerah. Biarkan Gubernur, Bupati, dan Walikota kembali memiliki ruang dan legitimasi untuk membuat keputusan strategis di wilayahnya. Jangan lagi segala sesuatunya harus melalui koordinasi panjang lintas kementerian, yang seringkali membuat kebijakan telat hadir saat masalah sudah meledak.
Saya percaya, jika kepercayaan diberikan kembali kepada pemerintah daerah, mereka akan lebih mudah mendengar dan merespon suara warga. Dan jika suatu saat nanti kebijakan itu ternyata tetap tidak berpihak pada rakyat, maka saat itulah kita punya alasan yang kuat untuk mendobrak—bukan sekadar membentur angin.
Sebagai bagian dari masyarakat, saya juga mengajak kita semua untuk tidak hanya menyuarakan keluhan di tepi jalan atau di beranda media sosial. Sampaikan aspirasi ke tempat yang tepat, ke pusat kekuasaan yang kini memegang kendali. Sampaikan dengan tertib, namun dengan keberanian dan keteguhan.
Terakhir, saya ingin menegaskan: jalan khusus adalah solusi utama. Mungkin akan ada tantangan baru—soal dampak lingkungan dan teknis pelaksanaannya. Tapi bukankah setiap solusi besar memang butuh keberanian besar pula?
Kita semua bayar pajak. Kita semua punya hak atas kenyamanan dan keselamatan di jalan negara. Maka jangan sampai kita menjadi warga kelas dua di negeri sendiri hanya karena jalan itu telah dikuasai oleh kepentingan industri.
Ini bukan tentang siapa yang pro dan siapa yang kontra. Ini tentang tanggung jawab kolektif kita sebagai bangsa yang harus berpihak pada kepentingan rakyat banyak.
Mohon maaf jika ada yang kurang berkenan. Ini hanyalah suara hati seorang warga, yang lelah melihat jalanan bukan lagi menjadi penghubung harapan, tapi medan konflik kepentingan.
Penulis:
KMS Ali
Jurnalis wilayah Lahat–Muara Enim | Mantan Ketua Senat UNSELA | Warga Ulak Lebar.
(Poniman)