GERBONG TERAKHIR
Kereta itu tiba tanpa suara. Bukan meluncur di atas rel baja yang berderit, melainkan seperti melayang, menghanyut di tengah kabut pekat. Tidak ada pengumuman, tidak ada suara peluit. Hanya ada dingin yang merayap pelan ke tulang, seperti bisikan samar sesuatu yang tidak ingin didengar.
Aku berdiri di peron, menggenggam tiket yang terasa basah dan dingin di tanganku. Angka-angkanya samar, berkedip-kedip seolah enggan menetap dalam satu bentuk. Namun, satu hal yang kutahu pasti: ini adalah perjalanan satu arah.
Seorang kondektur berseragam hitam berdiri di depan pintu, wajahnya tenang seperti permukaan danau tanpa riak. Mata hitamnya tidak memiliki cahaya, hanya bayangan yang bergetar di dalamnya. Tanpa kata, dia mengulurkan tangannya, menunggu tiket itu berpindah kepadanya. Aku menyerahkannya dengan ragu.
Saat kakiku melangkah masuk, udara di dalam gerbong seketika berubah. Bukan hanya lebih dingin, tapi juga lebih berat. Seperti ada sesuatu yang menempel di kulit, seperti beban yang tak terlihat, seperti tatapan dari sesuatu yang tidak seharusnya ada.
Gerbong itu panjang, lorongnya sempit dengan lampu redup yang berayun pelan. Kursi-kursinya berisi penumpang yang diam. Beberapa memandangi jendela dengan mata kosong, beberapa tertunduk, seolah tertidur atau mungkin… sesuatu yang lebih menyeramkan dari itu.
Aku berjalan pelan. Di ujung gerbong, ada seorang perempuan duduk sendiri. Rambutnya panjang, jatuh ke bahunya, pakaiannya lusuh seolah telah menempuh perjalanan panjang yang tak berkesudahan. Matanya menatap lurus ke depan, kosong, tapi bibirnya seperti ingin mengatakan sesuatu.
Ada sesuatu tentangnya yang menarik. Bukan kecantikannya, bukan wajahnya, tapi… sesuatu yang lebih dalam dari itu. Aku duduk di seberangnya.
“Kau juga naik kereta ini?” tanyaku, suaraku terdengar jauh, seperti berbicara dalam ruangan kosong yang bergema.
Dia menoleh perlahan, menatapku dengan sorot mata yang membuat tengkukku meremang. Bibirnya bergerak lambat, membentuk kata-kata yang hampir seperti desahan.
“Tentu saja,” katanya. “Aku sudah lama menunggumu.”
Kereta ini tidak memiliki perhentian. Tidak ada suara roda menghantam rel, tidak ada goncangan, hanya kesunyian yang bergerak bersamaku.
“Aku harus pergi ke gerbong terakhir,” kata perempuan itu tiba-tiba.
Aku menatapnya, mencoba menangkap sesuatu dari ekspresinya.
“Kenapa?” tanyaku.
Dia tidak langsung menjawab. Matanya menatap ke luar jendela, tapi di luar sana hanya ada kabut kelabu yang menghisap semua warna dunia.
“Di sanalah semua jawaban berada,” katanya akhirnya.
Aku menelan ludah.
Entah kenapa, aku merasa bahwa aku harus ikut dengannya. Kami berjalan melewati gerbong demi gerbong, melewati wajah-wajah kosong yang sesekali melirik kami dengan tatapan aneh. Ada seorang pria tua yang menggenggam jam saku dan menggumamkan sesuatu berulang kali. Ada seorang anak kecil yang memeluk boneka lusuh, matanya berkaca-kaca tapi tanpa air mata.
“Kau tahu ini kereta apa?” tanyaku saat kami sampai di gerbong keenam.
Dia menoleh dan menatapku lama sebelum menjawab, “Ini adalah kereta yang membawa mereka yang telah selesai dengan dunia.”
Aku merinding.
“Apa maksudmu?”
Dia berhenti melangkah, lalu menunjuk ke kaca jendela di samping kami. Aku menoleh—dan saat itu, jantungku hampir berhenti berdetak.
Di sana, di dunia yang mulai terasa samar, aku melihat tubuhku sendiri, terbaring di tempat tidur rumah sakit, dikelilingi oleh selang dan alat pemantau detak jantung. Seorang wanita yang mirip ibuku duduk di samping ranjang, menangis, bahunya bergetar.
Aku tersentak mundur.
“Tidak mungkin…”
“Tiket itu bukan sekadar tiket,” kata perempuan itu pelan. “Itu adalah keputusan. Jika kau tetap di kereta ini sampai akhir, maka kau tidak akan kembali.”
Aku merogoh saku dan menarik tiket itu. Angkanya kini jelas: Gerbong Terakhir.
Aku ingin berlari kembali ke gerbong awal, tapi kakiku seakan tertanam di lantai. Perempuan itu menatapku dengan mata yang kini penuh emosi.
“Kau tidak ingat aku, kan?”
Aku menatapnya lekat-lekat. Ada sesuatu yang familiar dalam wajahnya, tapi ingatanku terasa kabur.
“Aku mengenalmu,” katanya pelan. “Aku ada di sana, malam itu… Saat kau berkendara terlalu cepat, saat kau kehilangan kendali…”
Dan saat itu, semua ingatan menghantamku sekaligus.
Aku melihat jalanan yang basah oleh hujan, lampu-lampu kota yang berkedip, suara klakson yang memekakkan telinga. Aku melihat diriku di balik kemudi, tanganku mencengkeram setir erat, dan lalu— Tabrakan. Darah.
Dan di antara semua itu, seorang perempuan dengan mata penuh ketakutan sebelum semuanya berubah menjadi gelap.
Aku menoleh kepadanya, tubuhku bergetar. “Kau…”
“Ya,” katanya, dengan suara yang kini bergetar. “Aku yang ada di mobil itu. Aku yang tidak pernah sampai ke rumah malam itu.”
Aku ingin berbicara, ingin meminta maaf, ingin mengatakan sesuatu—tapi tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutku.
Perempuan itu melangkah mundur. “Sekarang kau tahu kenapa kau ada di sini.”
Aku menggenggam tiket di tanganku. Aku sadar, aku telah berada di gerbong ini sejak lama, hanya saja aku baru menyadarinya sekarang.
Aku terbangun dengan napas tersengal. Bau antiseptik memenuhi hidungku, suara mesin pemantau detak jantung berdetak pelan di sampingku. Ibuku tersentak saat melihatku membuka mata, lalu menjerit kecil, memanggil dokter dengan suara terbata-bata. Aku masih hidup.
Namun, di sela-sela itu semua, aku masih mengingatnya. Wajah perempuan itu. Senyumnya. Dan bagaimana dia memilih tetap tinggal di dalam gerbong yang terus bergerak, menuju tempat yang tak pernah kutahu akhirnya.
Lahat, Maret 2025
Tentang Penulis:
Aan Kunchay adalah seorang jurnalis di Kabupaten Lahat yang aktif menulis puisi dan cerpen. Karyanya telah dimuat di berbagai antologi bersama, media cetak, dan platform online. Pada tahun 2024, ia menerbitkan buku kumpulan cerpen perdananya, Burung-Burung yang Lupa Cara Terbang.