Catatan: Audiya Aziza
Saat tulisan ini dibuat peradaban sedang kehilangan arahnya, menuju ke arah kontemporer tapi juga terbelakang, menuju kearah pembangunan budaya tapi juga meterialis. Maka dari fenomena ini dianggap perlu melakukan pendekatan yang menyentuh tingkat yang esensial.
Ada lebih dari 20 hari peringatan nasional yang diperingati setiap tahunnya. Pertanyaannya kemudian, siapa yang harus bertanggungjawab supaya tersampaikannya pesan moral dari sejarah hari hari peringatan nasional yang sering kita rayakan? Siapa saja yang mestinya intens mendeklarasikan hari peringatan nasional yang bukan hanya sebatas seremonial?
Tanpa membantah bahwa kita memang makhluk mudah berubah dan majemuk, mengahadapi realitas mengenai apa yang terjadi hari ini adalah ‘kesadaran semu’. Sadar yang hanya memetik cabang, bukan mencabut akar. Dari sanalah kemudian rantai kebodohan langgeng dari masa ke masa, karna tidak terbiasanya rekonstruksi pikiran. Tiga sentra pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara yang meliputi keluarga, sekolah, dan masyarakat. Hari ini jelas tidak bersinergi dengan baik sebab algoritma yang muncul dalam keseharian kita semakin acak dan mengambang.
Barangkali mutlak dibutuhkan banyak pergolakan untuk melanjutkan misi pendidikan yang menyentuh semua aspek hidup agar benar menghidupi sehatnya akal. Pemaknaan merdeka akan semakin jauh terbelakang karna kehilangan maknanya yang hakiki. Sebagaimana kalimat pada Pembukaan UUD 1945 yang berisi “… mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia.” Mengisyaratkan bahwa untuk mencapai eksistensi kedaulatan rakyat, kita butuh berjalan masuk dulu, bukan terus bergerombol kebingungan di depan pintu gerbang kemerdekaan.
Hidup dalam peradaban di negeri yang menjunjung tinggi simbolik ini euforia memang bermanfaat, tapi rentan menjerat karna kadar senangnya sesaat dan lagi-lagi, mengambang. Ketika menyoal pendidikan hari ini, tidak ada ungkapan selamat dihari pendidikan yang mengandung makna dan tidak ada pula perayaan yang memecah persoalan. Euforia kita masih sebatas upacara di hari guru, kebaya di hari Kartini, balap karung dihari kemerdekaan, makan besar dihari pendidikan, atau baju adat saat tujuhbelasan, atau bahkan cosplayer di hari pahlawan. Sangat tidak relevan saat menghadapi banyak perubahan kebijakan yang juga tidak ada kemajuan dengan menampilkan berbagai ungkapan selamat bersamaan dengan mengatakan 3 semboyan pendidikan Ki Hajar Dewantara.
Kandungan substansi dari pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara adalah daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakat.
Beginilah seharusnya, demi mencapai kesempurnaan hidup pendidikan yang selaras dengan apa yang diperjuangkan dimasa lampau, kita mesti gaungkan keresahan dimasa kini. Selayaknya orang dicekik yang secara naluriah pastilah berteriak. Maka tidak mungkin mengatakan terimakasih kepada pencekik karna tidak sampai membunuh kemudian mengatakan selamat sambil mengulurkan tangan. Tut Wuri Handayani tercipta setelah melalui jalan panjang perjuangan Ki Hajar Dewantara untuk pendidikan yang progresif dan itu dicapai dengan perlawanan intelektual terhadap sistem pendidikan. Berteriak adalah naluriah dan bukan anarkis, sudah semestinya teriakan terintegrasi sebagai bagian dari hidup berbudaya untuk mencapai keselarasan.
Hari pendidikan ada sebagai pengingat bahwa menjadi fitrah itu perlu dan jalannya adalah merombak kebiasaan kuno dan mengubahnya menjadi kesadaran. Sadar akan budaya euforia yang semu dan rentan menjerumuskan dalam pembodohan. Sadar akan budaya mengungkapkan kata selamat sekaligus membungkam untuk menjadi pembangkang. Sekali lagi, hari pendidikan ada sebagai ruang untuk mereproduksi realitas untuk menempatkan kabajikan yang tidak abuabu dalam barisan paling depan dari perubahan urban.