Kebile Balek, Nak?
Nak,
Ini Umak menulis surat untukmu, dengan tinta rindu yang tak pernah kering. Entah sudah berapa purnama sejak langkahmu meninggalkan tanah ini, meninggalkan rumah yang kau sebut pelindung masa kecilmu. Umak tidak pernah menghitung waktu, hanya menakar sepi yang makin lama makin sesak.
Di sini, Lahat masih seperti dulu. Udara pagi masih membawa wangi embun dan daun kopi yang basah. Bukit Tunjuk tetap berdiri megah di kejauhan, menyembunyikan rahasia-rahasia tua yang dulu sering kau tanyakan. Kau ingat, kan, bagaimana kau selalu berlari kecil di tepi sawah? Saat itu, Umak tertawa melihat celanamu kotor karena lumpur. Kau bilang, “Aku ingin menjadi petani seperti Bak.”
Tapi kini, kau di kota besar. Apa kabarmu, Nak? Apakah kehidupanmu di sana seindah cerita-cerita yang dulu kau tulis di buku sekolah? Sudahkah kau menemukan apa yang kau cari? Atau, jangan-jangan kau terlalu sibuk hingga lupa pada semua yang pernah kau tinggalkan?
Surat ini Umak tulis bukan untuk menyalahkanmu. Umak tahu, jalan hidupmu mungkin berbeda dari yang Umak bayangkan dulu. Kau lahir di tanah ini, tapi dunia terlalu luas untuk membiarkanmu hanya tinggal di sini. Hanya saja, Nak, Umak ingin bertanya: kebile balek?
Lahat ini indah, Nak. Masih seperti dulu. Sungai Lematang masih mengalir deras, membawa cerita-cerita nenek moyang. Tapi, keindahan itu terasa hambar tanpa kehadiranmu. Burung-burung tetap bernyanyi, tapi nyanyiannya kini hanya terdengar seperti desah angin yang lelah.
Kau ingat pepatah orang Lahat? Ngusiw asap ninggalka api. Jangan sampai kau mengejar yang belum pasti, lalu meninggalkan yang sudah jelas ada di sini: keluargamu, rumahmu, ibumu. Apa pun yang kau cari di kota besar, mungkin hanya seperti asap—terlihat besar, tapi cepat hilang.
Jangan pula Lok batu umban ke lubuk. Kau jangan seperti itu, Nak. Jangan biarkan kau hilang tanpa kabar. Jaga silaturahmi, jangan biarkan Umak hanya mendengar cerita tentangmu dari orang lain.
Setiap pagi, Umak duduk di beranda, memandang jalan setapak yang dulu sering kau lalui. Di sana, daun-daun masih berguguran, angin masih berbisik lembut. Tapi tidak ada jejak langkahmu di sana. Tidak ada suara sepeda yang dulu kau kayuh dengan penuh semangat.
Nak, jika dunia di luar sana terlalu keras untukmu, pulanglah. Tidak ada yang akan menilai siapa dirimu di sini. Kau tetap anak Lahat, darah dari darah kami, tanah dari tanah ini.
Umak tidak tahu apakah surat ini akan sampai padamu. Umak tidak tahu apakah kau masih peduli. Tapi Umak tetap menulis, karena Umak percaya, kata-kata yang keluar dari hati akan selalu menemukan jalannya.
Kebile balek, Nak? Jangan biarkan Umak hanya mengenalmu lewat cerita-cerita orang. Jangan biarkan Umak lupa bagaimana rasanya memeluk anak sendiri.
Ilham membaca surat itu di kamar apartemennya yang dingin, dikelilingi tumpukan pekerjaan dan kenyataan yang semakin menjeratnya. Surat yang ia temukan di antara barang-barang lamanya setelah terlupa dibuka selama berminggu-minggu. Tangannya bergetar, matanya basah. Surat itu seperti menggores hatinya, menelanjangi kesibukannya yang selama ini ia anggap penting untuk menghindari pulang.
Sejenak, ia termenung memandang kota dari balik jendela apartemennya. Lampu-lampu neon yang dulu membuatnya terpesona kini terasa hampa. Wajah kota yang ia banggakan sekarang hanya menciptakan rasa asing di dalam hatinya. Semakin lama, ia merasa semakin terjauh dari akar dan keluarga yang pernah memberinya segalanya.
“Mak, aku harus pulang,” katanya pada dirinya sendiri, meski keraguan masih mencengkram. Namun, rasa malu mulai menyentuhnya. Berapa kali ia menunda untuk menelepon ibunya, berapa lama ia mengabaikan surat-surat dan telepon yang tertunda? Setiap kali ia beralasan, “Nanti saja, ada waktu.” Tapi waktunya kini terasa begitu terbatas, terjepit di antara kesibukan dan penyesalan yang terus tumbuh.
Telepon di mejanya berdering, menampilkan nama “Umak”. Ia menatapnya lama, tangan gemetar, namun tidak menyentuh tombol terima. Terlalu banyak hal yang harus ia jelaskan, terlalu banyak kata yang belum ia ucapkan. Bahkan suara ibunya yang lembut, yang sering ia abaikan, kini terasa menjadi beban yang tak mampu ia pikul lagi. Tak lama, dering telepon itu berhenti. Ilham menghela napas panjang dan membuka surat itu sekali lagi. Setiap kalimat yang ditulis oleh ibunya terasa seperti belati yang menyayat. Ilham menangis, bukan hanya karena surat itu, tetapi karena pengabaian yang ia rasakan dalam dirinya sendiri.
Malam itu, ia memutuskan untuk pulang.
—
Perjalanan menuju Lahat terasa seperti perjalanan panjang menuju penebusan. Setiap kilometer yang Ilham tempuh semakin membawa kenangan masa kecil yang terlupakan—tanah sawah yang basah, suara burung pagi, dan tangannya yang pernah memegang tangan ibunya dengan penuh keyakinan bahwa hidup ini tak akan lepas dari kasih sayang dan rumah.
Namun, ketika ia tiba di rumah, langkahnya terhenti. Rumah itu ramai, penuh dengan orang-orang yang duduk dalam diam. Di depan rumah, selembar kain putih terbentang, dengan bunga melati bertaburan di atasnya.
“Mak…” suara Ilham nyaris tak terdengar.
Ia melangkah masuk dengan hati yang berat, tubuhnya terasa seperti terikat. Di tengah ruang tamu, ibunya terbaring dalam damai, dikelilingi doa-doa lirih dari tetangga dan kerabat. Ia berlutut di sisi ibunya, menggenggam tangan yang dulu hangat, kini dingin.
“Mak, aku balek… Aku balek…” tangisnya pecah.
Mang Basar, adik ibunya, mendekatinya pelan. “Ilham, Umakmu selalu berharap kamu pulang. Setiap pagi, dia tunggu di beranda. Dia bilang, ‘Ilham pasti balek, cuma waktunya belum.’”
Ilham menatap pamannya, air mata mengalir tanpa bisa dibendung. “Kenapa aku baru pulang sekarang?” tanyanya, hampir berbisik. “Kenapa aku tidak mendengarkan lebih awal?”
Mang Basar mengusap pundaknya dengan lembut. “Kamu pulang sekarang, itu yang penting. Umakmu sudah lama menunggu.”
Ilham mengeluarkan surat itu dari sakunya, membacanya lagi dengan suara bergetar. Setiap kata terasa menusuk, namun ia tahu, tak ada yang bisa mengubah kenyataan sekarang.
—
Dalam hening malam itu, ketika Ilham berdiri di samping ibunya yang telah tiada, satu kalimat terngiang di benaknya. Kalimat yang sebelumnya terasa begitu sederhana kini mengandung beban yang begitu dalam.
“Kebile balek, Nak?”
Seperti sebuah pertanyaan yang belum sepenuhnya terjawab kini mengundang rasa rindu, penyesalan, dan mungkin sebuah perjalanan panjang yang belum selesai. Ilham menatap langit di atas Lahat yang mendung, dan sejenak, entah apa yang terlintas dalam pikirannya—rindu, penyesalan, atau mungkin hanya kesepian. Namun, di balik semua itu, ia tahu satu hal: terkadang, perjalanan pulang memang tidak selalu berakhir dengan jawaban yang kita harapkan.
End