Bau Durian dan Bau Malam
Malam di Desa Pandan Dulang tak pernah benar-benar gelap. Selain cahaya bulan dan bintang, selalu ada obor dan lampu minyak di kampungan—kebun durian luas yang menjadi nadi kehidupan desa kecil itu. Di kampungan itulah warga Pandan Dulang mengandalkan rejeki tahunan mereka: durian.
Musim durian dimulai bukan saat buahnya matang, melainkan jauh lebih awal, ketika bunga-bunga putih bermekaran di dahan. Saat itu, kampungan berubah menjadi tempat yang sibuk. Warga berbondong-bondong membersihkan kebun, menebas semak, dan memastikan tanah di sekitar pohon durian bersih dari daun-daun kering.
“Kebun bersih, rejeki lancar,” begitu pepatah desa.
Bukan hanya kebun yang dirapikan, tapi juga pondok-pondok kecil tempat para petani tinggal selama musim durian. Pondok itu sederhana—balai-balai bambu dengan atap rumbia dan dinding seadanya. Namun menjelang musim durian, pondok-pondok itu diperbaiki, dilengkapi kasur tipis, selimut, bantal, dan tentu saja perlengkapan memasak. Kopi hitam, gula, mie instan, beras, dan roti kering menjadi kebutuhan pokok. Di sinilah warga bermigrasi. Dari rumah di desa ke pondok di kampungan.
Dani, seorang bujangan yang sudah lewat usia 30-an, juga ikut pindah ke pondoknya. Kampungan miliknya tidak terlalu jauh dari desa, tetapi bagi Dani, pondok itu lebih dari sekadar tempat singgah. Ia adalah medan perjuangan. Di sanalah ia berjaga malam-malam, mendengar durian jatuh, dan memastikan buahnya aman dari tangan jahil—baik tikap (pencuri durian) maupun binatang.
***
Saat bunga durian bermekaran, Dani dan warga lain seperti berpacu dengan waktu. Ia mengasah parang, membersihkan kebun, dan memastikan semua siap. Jika pohon-pohon durian adalah raja, maka tanah di bawahnya adalah singgasana yang harus bebas dari gangguan.
“Kalau ada daun kering, nanti durian susah dicari,” katanya sambil menyapu dedaunan.
Di sela-sela itu, Dani juga memperbaiki pondoknya. Dinding bambu yang lapuk diganti, atap rumbia yang bocor diperbaiki. Di satu sudut pondok, ia memasang kentongan bambu—senjata tradisional untuk memanggil warga jika ada bahaya.
“Ini, kalau ada tikap, kita pukul. Satu kampungan pasti datang,” ujar Dani.
Di waktu yang sama, pasar desa mulai ramai dengan obrolan tentang harga durian. Pengepul datang lebih awal, menawarkan harga lebih rendah dari biasanya, tapi warga tahu mereka bisa bersabar. Musim durian belum benar-benar mulai. Mereka menunggu buah-buah itu matang dengan sendirinya dan jatuh.
Namun, anehnya, di pasar kota, ketika harga durian melambung, alasan yang sering didengar hanyalah soal rasa.
“Durian ini manis, legit, wangi,” kata seorang penjual dengan senyum penuh perhitungan.
Tidak ada yang menyebutkan harga nyawa Dani yang dipertaruhkan setiap kali ia masuk hutan tengah malam. Tidak ada yang tahu bahwa di balik setiap durian yang harum itu, ada kantung mata yang hitam karena kurang tidur, atau punggung yang memar akibat tergelincir di tanah licin.
Seorang pembeli di kota pernah bertanya pada pengepul, “Kenapa durian mahal sekali? Apa karena buahnya langka?”
Pengepul hanya terkekeh. “Bukan soal rasa atau langka. Tapi proses. Kau tak tahu, ada yang harus melawan pencuri, hantu, bahkan alam sendiri untuk buah ini sampai di meja makanmu.”
Pembeli itu mengerutkan dahi. “Lalu, apakah petani di desamu menjadi kaya atau tetap miskin?”
Pengepul itu tertawa lebih keras. “Mungkin itu pertanyaan yang lebih mahal dari durian itu sendiri.”
***
Saat buah durian mulai besar dan menggantung di dahan, warga mulai pindah ke kampungan masing-masing. Dani membawa semua perlengkapannya ke pondok. Ada bake (keranjang rotan besar) untuk mengumpulkan durian, senter, selimut tebal, dan tentu saja stok kopi.
Di malam hari, kampungan hidup dengan cara yang unik. Setiap pondok memancarkan cahaya senter, seolah memberi tahu tetangga, “Aku ada di sini.” Sesekali, ada obrolan santai di pondok salah satu warga. Mereka berbincang tentang harga durian, pengepul, atau bahkan soal asmara.
“Dani, kau ini bujangan tua. Masa belum ada yang kau taksir?” tanya Pak Sabri suatu malam.
Dani hanya tertawa sambil menyeruput kopi. “Kalau durian ini bisa bikin aku kaya, baru aku pikirkan kawin.”
Di tengah kehangatan itu, ada ancaman yang selalu menghantui: tikap. Mereka adalah pencuri yang diam-diam masuk ke kampungan dan mengambil durian jatuh sebelum pemiliknya sempat menemukannya.
“Tahun lalu, tikap itu nekat,” ujar Pak Sabri. “Pakai sepeda motor, tengah malam, langsung angkut dari bawah pohon. Kita harus jaga ketat.”
Warga sepakat. Mereka berjaga bergantian, memastikan durian mereka aman.
“Jangan lupakan Nenek,” kata Pak Asyik suatu malam, ketika mereka berbincang di pondok Dani. Tapi yang lain hanya tertawa.
“Itu cerita orang tua dulu,” sahut Pak Sabri. “Sekarang, tikap itu lebih nyata dari harimau jadi-jadian.”
Menurut mitos desa, Nenek adalah jelmaan harimau, penjaga kampungan. Jika ada yang serakah atau tidak menghormati adat, maka Nenek akan meminta jatahnya. Caranya? Membuat durian jatuh tapi tidak ditemukan, atau menakut-nakuti pemilik kebun.
***
Malam itu, Dani duduk di depan pondoknya. Kopi hitam mengepul di gelas kaleng, rokok kretek terselip di bibirnya. Api unggun kecil menyala, mengusir hawa dingin sekaligus sepi.
Dari kejauhan, terdengar suara pertama: bedebuk. Itu suara durian jatuh.
Dani tidak langsung bangkit. Ia menunggu suara kedua, ketiga, keempat, hingga kelima. Baginya, lebih efisien mengambil lima buah sekaligus daripada bolak-balik ke pondok.
Ketika suara kelima terdengar, Dani menyandang bake-nya dan menyalakan senter. Ia melangkah cepat ke arah suara durian jatuh.
Tapi anehnya, malam itu tidak seperti biasanya.
Ia sudah berkeliling hampir setengah jam, tapi tidak menemukan apa-apa. Tanah di bawah pohon bersih, tidak ada durian. Dani mulai merasa kesal.
“Tikap sialan!” geramnya. Ia kembali ke pondok, mengambil kentongan, dan memukulnya keras-keras.
Dalam beberapa menit, warga kampungan berkumpul. Mereka mendengar cerita Dani dengan serius.
“Ini pasti tikap,” kata Pak Sabri. “Besok pagi kita cari jejaknya.”
Namun Pak Asyik kembali mengingatkan sesuatu. “Jangan lupakan Nenek.”
Warga hanya menggeleng. Tikap lebih masuk akal.
***
Esok paginya, Dani menyisir kampungan dengan saksama. Ia mencari jejak kaki atau tanda-tanda lain. Dan akhirnya, ia menemukannya.
Di tanah lembab, ada bekas jejak. Tapi itu bukan jejak manusia. Bentuknya seperti jejak kucing, tapi ukurannya jauh lebih besar. Dani mengikuti jejak itu sampai ke sebuah semak kecil di tengah kampungan.
Di sana, ia menemukan tumpukan biji dan kulit durian. Sebagian masih basah oleh daging buah.
Dani menelan ludah. “Apa ini?” gumamnya.
Ia ingin menceritakan temuannya kepada warga, tapi entah kenapa ia ragu.
***
Malam itu, Dani kembali berjaga. Ia merasa ada sesuatu yang aneh, seolah ada yang mengawasinya dari balik bayang-bayang. Angin malam berhembus lembut, namun di balik kesejukan itu, Dani merasakan ketegangan yang menggantung di udara. Ketika malam semakin larut, ia melihatnya: sepasang mata kuning menyala di kegelapan. Napas Dani tercekat. Ia ingin lari, tapi kakinya terasa kaku.
Mata itu semakin mendekat, diiringi suara napas berat. Dani ingin berteriak, tapi suara itu tertahan di tenggorokan. Ia memicingkan mata, mencoba memastikan apa yang dilihatnya. Sesosok bayangan besar bergerak perlahan di balik semak-semak, dengan mata yang terus menatapnya tajam. Suasana menjadi hening, hanya terdengar desah napasnya sendiri yang semakin cepat.
“Dani!” terdengar suara lembut dari belakang. Itu suara Pak Sabri. Dani berpaling, melihat Pak Sabri yang tampak gelisah.
“Sudah saatnya kita pergi dari sini. Jangan buat Nenek marah,” kata Pak Sabri dengan nada tegas, sambil memegang lengan Dani.
Namun, Dani merasa tubuhnya kaku. Ia tidak bisa bergerak. Matanya tetap terpaku pada sepasang mata yang terus menyala di kegelapan. Tanpa sadar, ia mundur selangkah, langkah demi langkah, menuju pondok. Pak Sabri tetap di belakangnya, mengawasi setiap gerakan, sambil melirik ke segala arah seakan menghindari sesuatu yang tidak tampak oleh mata Dani.
Mata kuning itu semakin mendekat, menembus kegelapan malam. Angin semilir tiba-tiba berubah menjadi dingin, menyentuh kulit Dani dengan cara yang berbeda. Di saat yang sama, suara *bedebuk* durian jatuh terdengar lagi, kali ini dari arah yang berbeda. Tanpa banyak kata, Dani dan Pak Sabri berlari, berbalik arah dan menuju pondok.
Sesampainya di pondok, Dani melirik ke belakang sekali lagi, tetapi yang ia lihat hanyalah bayang-bayang dan suara alam yang kembali mereda. Sebuah ketenangan yang menipu. Dani menatap ke dalam pondok, mencari kehangatan. Api unggun yang tadinya menyala, kini mulai padam. Asapnya mengepul perlahan, menyatu dengan malam.
Di luar, kampungan kembali sepi. Suara durian jatuh terus terdengar, namun tanpa pernah ada yang menemukannya. Di dalam pondok, Dani duduk diam, merenung, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. Di luar sana, di bawah pohon-pohon durian, ada yang menunggu, sesuatu yang lebih dari sekadar pencuri.
Dani menatap gelapnya malam dan mendengar suara angin yang datang membawa aroma khas durian yang manis dan menyengat. Bau yang khas, yang selalu menjadi pertanda musim yang penuh dengan harapan, juga ancaman. Karena di balik setiap buah yang jatuh, ada yang berhak, ada yang harus dihormati. Dan malam ini, sekali lagi, bau durian dan bau malam itu mengingatkan Dani, bahwa di Desa Pandan Dulang, musim durian bukan sekadar rejeki. Namun ujian, seberapa jauh mereka bisa berbagi dan seberapa kuat mereka melawan serakah.
Lahat, 2024
Penulis : Aan Kunchay, seorang jurnalis di Kabupaten Lahat





